Oleh Lesmana, 26 Januari 2021
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan
Lembaga Negara yang dibentuk berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD). Pasal 24 C UUD melalui 6 ayat mengupas secara
khusus Lembaga Negara ini, bahkan pada Aturan Peralihan Pasal III menyebutkan
bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 meskipun
dalam hal belum terbentuk kewenangannya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Namun,
berdasarkan pengaturan tersebut dapat dilihat keistimewaan MK di Negara
Republik Indonesia.
Dalam Pasal 24 C UUD diterangkan
bahwa MK berwenang untuk mengadili tingkat pertama dan terakhir untuk:[1]
1. Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar
2. Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang diberikan oleh Undang Undang Dasar
3. Memutus pembubaran partai politik dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selain dalam bidang Hukum, MK
juga memiliki peran dalam pelaksanaan pemerintahan yakni memberikan putusan atas
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
MK terdiri dari 9 (Sembilan)
orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden yang diajukan oleh Mahkamah
Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Hakim Konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatangeraan. Hakim Agung harus melepaskan diri dari Lembaga
lain.
Amanat konstitusi kemudian dilaksanakan
dengan terbitnya Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
yang mengatur hal lebih khusus seperti masa jabatan Hakim MK, kewenangan,
Sekretariat dan panitera, Pengangkatan dan pemberhentian hakim MK.
Latar belakang Kewenangan yang
dimiliki MK dilatarbelakangi oleh munculnya judicial review dan Mahkamah
Konstitusi di dunia. Judicial Review pertama kali dilakukan oleh Mahkamah
Agung (MA) Amerika Serikat saat dipimpin oleh Wiliam Paterson dalam kasus Danil
Lawrence Hyiton lawan Pemerintah Ameriika Serikat pada tahun 1976. Dalam kasus
tersebut MA menolak permohonan pengujian Undang Undang Pajak atas Gerbong
Kereta Api 1974 dan menyatakan bahwa Undang Undang tersebut tidak bertentangan
dengan konstitusi, sehingga Tindakan kongres dipandang konstitusional. Pada
saat itulah secara tidak disadari MA telah melakukan judicial review
Undang Undang atas Konstitusi meskipun tidak mencabut Undang Undang tersebut.
Kemudian pada tahun 1803 dalam kasus Marbury lawan Madison meskipun MA
belum memiliki kewenangan untuk melaksanakan judicial review, dengan
menafsirkan sumpah jabatan yang mengahruskan senantiasa mengekkan konstitusi,
John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang
bertentangan dengan konstitusi. Itulah dua kasus yang melatarbelakangi praktek judicial
review yang saat ini menjadi kewenanangan Mahkamah Konstitusi. [2]
Hans Kelsen, merupakan orang yang
pertama kali memperkenalkan keberadaan MK pada tahun 1919. Dia menyampaikan
bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin
hanya jika suatu organ selain banda legislative diberikan tugas untuk menguji
suatu produk hukum konstitusional dan tidak memberlakukannya jika menurut organ
ini tidak konstitusional. Untuk itu, perlu diadakan organ khusus yang disebut
Mahkamah Konstitusi (MK).
Pada tanggal 13 Agustus 2003 lahir
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disepakati,
dinomori, dan diundangkan pada hari yang sama. Indonesia merupakan negara ke 78
yang membentuk MK. Pada tahun 2010 MK terlibat dalam mendirikan The
Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Instituionst (AACC)
yang dideklarasikan di Jakarta. Asosiasi ini terbentuk dalam kegiatan The
7th conference of Asian Constitutional Court Judges pada 12-15
Juli 2010. MK RI dan MK Korea Selatan merupakan dua negara yang diamanahkan
sebagai Sekretariat tetap AACC. MK RI juga terpih sebagai wakil benua ASIA
untuk tergabung dalam banda Pekerja World Confrence of Constitutional
Justice (WCCJ) periode 2017-2020.
Dalam perjalanannya MK sempat
mengalami keterpurukan dikarenakan salah satu Hakimnya Dr.H. M. Akil Mochtar,
S.H., M.H. terlibat dalam kasus suap terkait dengan penanganan perkara
Perselisihan Hasil Pilkada Kabupaten Gunungmas sehinngga diberhentikan dengan
tidak hormat di tahun 2013. Berlatar belakang ini, pada tahun 2014 MK membentuk
Dewan Etik Hakim Konstitusi berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi. Dewan Etik
ini merupakan salah satu perangkat yang dibentuk oleh MK untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan Kode Etik Hakim Konstitusi
terkait dengan laporan dan/atau informasi mengenai dugaan pelanggaran yang
dilakukan oleh Hakim Konstitusi.
Berikut nama nama Hakim MK:
1. 2003-2008
a.
Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.,
b.
I
Dewa Gede Palguna.,
c.
Letjen
TNI (Purn) Achmad Roestandi, S.H. digantikan
Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H.,
d.
Prof.
Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.,
e.
Prof.
H.A.S. Natabaya, S.H., LLM.,
f.
Dr.
H. Harjono, S.H., MCL., S.H., M.H.
g.
Prof.
Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., digantikan Dr. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum.
h.
Dr.
Maruarar Siahaan, S.H., dan
i.
Sudarsono,
S.H. digantikan Dr. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum.
2. 2008-2013
a.
Prof.
Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., digantikan Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
b.
Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., digantikan Dr. Harjono, S.H., MCL.
c.
Prof.
Dr. Achmad Sodiki, S.H. digantikan Dr. H. Patrialis Akbar, S.H., M.H.
d.
Prof.
Dr. Maria Farida Indrati, S.H.
e.
Muhammad
Akil Mochtar, S.H., M.H.
f.
Dr.
Maruarar Siahaan, S.H., digantikan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
g.
Dr.
H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. digantikan Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.
h.
Dr.
H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum.
i.
Prof.
Dr. Mohammad Mahfud MD., S.H., digantikan Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S.
3. 2013-2018
a.
Dr.
Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H. digantikan Dr. Wahiduddin Adams, S.H., M.A
b.
Prof.
Dr. Maria Farida Indrati, S.H. digantikan Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H.,
M.Hum
c.
Dr.
H. Patrialis Akbar, S.H., M.H. digantikan dengan Prof. Dr. Saldi Isra., S.H.,
MPA.
d.
Dr.
Hamdan Zoelva, S.H., M.H. digantikan Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum
e.
Dr.
Harjono, S.H., MCL. Digantikan Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM.
f.
Drs.
H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.digantikan Dr. Suhartoyo, S.H., M.H.
g.
Dr.
Anwar Usman, S.H., M.H
h.
Dr.
H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum.digantikan Dr. Manahan M. P. Sitompul, S.H.,
M.Hum
i.
Dr.
Arief Hidayat, S.H., M.S.
4. 2018-2023
a.
Dr.
I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum digantikan Dr. Daniel Yusmic Pancastaki Foekh,
S.H., M.H.
b.
Dr.
Anwar Usman, S.H., M.H
c.
Prof.
Dr. Aswanto, S.H., M.Si., DFM
d.
Dr.
Arief Hidayat, S.H., M.S.
e.
Dr.
Wahiduddin Adams, S.H., M.A
f.
Dr.
Suhartoyo, S.H., M.H.
g.
Dr.
Manahan M. P. Sitompul, S.H., M.Hum
h.
Prof.
Dr. Saldi Isra., S.H., MPA.
i.
Prof.
Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum
[1] Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Indonesia, Pasal 24
C.
[2] “Peradilan, www.mkri.id, https://www.mkri.id/index.php?page=web.Mahkamah&menu=2
Komentar